Powered By Blogger

Senin, 17 Januari 2011

Melacak Akar Konflik Antar Perguruan Silat di Karisidenan Madiun

Melacak Akar Konflik Antar Perguruan Silat di Karisidenan Madiun

Eyang Suro









1903 & 1922











Setia Hati Winongo Madiun Setia Hati Terate Madiun


Kasus perkelahian antar perguruan silat yang dimotori oleh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Setia Hati Winongo atau disebut STK (Sedulur Tunggal Kecer) di Karesidenan Madiun akhir-akhir ini sangat marak dan melibatkan masa pendukung secara massif dan di sertai dengan pengerusakan serta jatuhnya korban jiwa.

Konflik yang berpangkal dari perbedaan penafsiran dan klaim kebenaran tentang ideoligi keSHan merambat hampir seluruh Karisedenan Madiun. Hadirnya konflik tersebut juga menimbulkan keresahan dan ketidaknyaman berbagai lapisan masyarakat. Arkeologi Kekerasan SH Terate VS SH Winongo Perkelahian secara turun temurun antar SH Terate dan SH Winongo tidak lepas dari setting sejarah yang melatarbelakangi.

Kedua perguruan tersebut awalnya merupakan satu perguruan yaitu Setia Hati (diawali berdirinya Sedulur Tunggal Kecer) yang berdiri di kampung Tambak Gringsing Surabaya, oleh Ki Ngabei Soero Diwiryo dari Madiun pada tahun 1903. Pada tahun tersebut Ki Ngabei belum menamakan perguruannya dengan nama Setia Hati, namun masih bernama “Joyo Gendilo Cipto Mulyo” dengan hanya memiliki 8 orang siswa. Didahului oleh 2 orang saudara, yaitu Noto/Gunadi (adik kandung KI Ngabei sendiri) dan kenevel Belanda. Organisasi silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat sekitar tahun 1917, yang mana Joyo Gendilo Cipto Mulyo mealkukan demonstarsi silat secara terbuka di alun–alun Madiun dan menjadikannya sebgai perguruan yang popular di kalangan masyarakat karena gerakan yang unik penuh seni dan bertenaga.

Pada tahun 1917 Joyo Gendilo Cipto Mulyo bergati nama dengan Setia Hati. Pendiri perguruan tersebut meninggal pada tanggal 10 November 1944 dalam usia 75 tahun, dengan meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan kepada Setia Hati dan selama bu Ngabei Soero Diwiryo masih hidup tetap menetap di rumah tersebut dengan menikmati pensiun dari perguruan tersebut.

Ki Ngabei dimakamkan di Desa Winongo Madiun dengan batu nisan garnit dengan dikelilingi bunga melati. Dan oleh berbagai kalangan makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari perguruan Setia Hati. Dan pada Tahun 1922 Murid Ki Ngabei Soero Diwiryo mendirikan Setia Hati Teratai sebagai respon untuk mengembangkan Pencak silat dengan ideologi ke SH an.

Pertentangan ideologi memulai memuncak ketika pendiri SH meninggal yang mana konflik tersebut di motori oleh dua murid kesayangan Ki Ngabei Soero Diwiryo yang mengakibatkan pecahnya SH dan terbagi dalam 2 wilayah teritorial yaitu SH Winongo yang tetap berpusat di Desa Winongo dan SH Terate di Desa Pilangbangau Madiun.

Konflik kedua murid merambat sampai akar rumput sampai sekarang yang di penuhi rasa kebencian satu sama lain. Belum lagi konflik di perparah kepentingan politik dan perebutan basis ekonomi. Basis pendukung antar kedua perguruan di bedakan oleh perbedaan kelas juga. SH Winongo berkembang dalam alan perkotaan dan basis pendukungnya adalah para bangsawan atau priyayi sedangkan SH Teratai berkembang di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Perpecahan kedua perguruan tadi juga terletak dalam strategi pengembangan ideologi yang satu bersifat ekslusif sedangkan Hardjo Utomo ingin membangun SH yang lebih bisa diterima masyarakat bawah guna melestarikan perguruan.

Melihat dari latar belakang tersebut, konflik yang tejadi adalah konflik identitas yang mana kedua perguruan tersebut saling mengklaim kebenaran pembawa nilai ideoligi SH yang orisinil dan menganggap dirinya yang paling baik dan benar. Klaim kebenaran terus menerus di reproduksi sehingga membentuk praktek–praktek diskursif yang saling meyalahkan satu sama lain.

Konflik yang digerakkan oleh klaim kebenaran pemegang otoritas tunggal ideologi ke SH an juga di dukung olehkultur agraris masyarakat setempat yang dalam kehidupan sehari-hari tidak mempunyai kegiatan selain bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari –hari. Tumbuh suburnya perguruan silat di karesidenan Madiun juga di topang oleh idelogi pencak silat yang di olah kebatinan kejawen yang sangat familiar dalam kehidupan sehari–hari.

Implikasinya, kelompok silat menjadi suatu yang itegral dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat juga ikut melestarikan konflik di sebabkan tingkat partisipasinya dalam kelompok silat sangat tinggi. Hadirnya kelompok silat dalam masyrakat agraris adalah sebuah media sosial untuk melepaskan rutinitas sehari–hari dan sebagai pelepas tekanan kemiskinan yang sering di derita masyarakat petani.

Partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kelompok silat dan di barengi sentimen ideologis yang kuat dan cenderung emosional dalam bertindak seringkali dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan yaitu oleh para politisi lokal untuk mendukung parpol yang dipimpimnya. Fenomena tersebut bisa dilihat oleh Mantan Bupati Ponorogo Markum, yang pada tahun 1998 lalu bergabung menjadi anggota kehormatan SH Terate. Kelompok silat yang jumlahnya ribuan sangat potensial untuk mendukung kepentingan parpol tertentu.

Hadirnya nuansa politisasi dalam sebuah organisasi silat yang menambah rantai konflik semakin panjang dan sangat sulit untuk diselesaikan. Pertarungan eksistensi antara SH Winongo dan SH Terate juga ber imbas pada perekutan anggota sebanyak–banyaknya. Dalam memperebutkan anggota juga sebagai perebutan basis ekonomi. Hasil Penelitian yang di lakukan oleh E. Probo dia mengambil contoh SH Terate (2002 :6 makalah diskusi), untuk satu kali pelantikan setiap bulan Sura [bulan pertama dalam kalender Jawa], Terate melakukan pelantikan sejumlah 1000-2000 anggota baru.

Jika satu anggota membayar Rp. 700 ribu rupiah, maka uang yang akan masuk ke organisasi dalam satu tahun adalah Rp 700 juta hingga Rp. 1,4 milyar rupiah !!! Jumlah yang fantastis. Ini menarik sekali, sebuah organisasi silat dengan jumlah anggota 35.000 orang dan pemasukan Rp. 700 juta hingga Rp. 1,4 milyar rupiah per tahun. Maka bila salah satu perguruan silat menguasai satu daerah maka dengan sekuat tenaga akan mempertahankan, karena di situlah eksitensi sebuah perguruan silat dipertaruhkan. Selain itu mereka juga tidak mau kehilangan basis ekonominya.

Penutup

Konflik Identitas antara SH Winongo dan SH Teratai yang dimulai dengan klaim kebenaran tentang pemegang teguh ajaran ke SH an sekarang mulai merebak pada perebutan basis ekonomi serta di manfaatkanya kelompok silat sebagai penyokong parpol tertentu. Di lain sisi, masyrakat pun ikut melestarikan adanya konflik tersebut.

Untuk menghindari adanya konflik ideologis yang berkepanjanngan, perlu di lakukan tindakan yang tegas oleh aparat kepolisian. Pemerintah daerah setempat juga harus menciptakan media sosial yang lain yang dapat membuat masyarakat keluar dari rutinitas sehari-hari dan terlepas dari berbagai tekanan sosial ekonomi yang selalu menghantui. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mempunyai program pembangunan yang berorentasi pada kesejahteraan rakyat.karena kita ketahui hadirnya konflik tersebut tidak lepas dari budaya kemiskinan masyarakat setempat.




Minggu, 16 Januari 2011

Riwayat RM. Imam Koesoepangat

Sebelum melihat jauh kedepan mengenai perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate sekarang ini, kita ingatkan julukan : “PENDHITA WESI KUNING”.
Siapakah Pendhita Wesi Kuning itu? Ia dikenal seorang yang berdedikasi tinggi, dalam kamus hidupnya tidak ada kata menyerah dalam menghadapi tantangan. Pola hidupnya sederhana meskipun ia sendiri dilahirkan dari keluarga yang bermartabat, penerus trah kusumah rembesing madu amarat apa wijiling handanawarih. Kiatnya “Sepiro gedhening Sengsoro Yen Tinompo Amung dadi Cobo” dan kiat itu dihayatinya dijabarkan dalam lakunya sampai akhir hayatnya. Ia teguh dalam pendiriannya yakni mengabdi pada sesama maka orang-orang pun memberi julukan “PENDHITA WESI KUNING” (konon julukan ini mengacu pada warna wesi kuning sebagai senjata kedewataan yang melambangkan ketegaran, kesaktian, kewibawaan sekaligus keluhuran).
Ketika ia di tanya, siapakah orang yang paling dicintainya di dunia ini ?. Ia akan menjawab dengan tegas “IBU “. Dan ketika ia di tanya organisasi apakah yang paling ia cintai selama di dunia ini ?. maka ia pun akan mengatakan PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE.Dua jawaban di atas, pertanyaan yang mengacu pada kedalaman rasa itu, telah di buktikan tidak hanya ucapan belaka tetapi dengan kerja nyata. Hampir sepanjang hidupnya waktu, tenaga, pikiran dan jiwanya dipersembahkan demi baktinya kepada keduanya itu. Yakni ibu, seorang yang telah berjasa atas keberadaan di dunia ini, dan persaudaraan setia hati terate sebuah organisasi tempat menemukan jati diri, sekaligus ajang darma baktinya dalam rangka mengabdi kepada sesama. Dialah RADEN MAS IMAM KOESOEPANGAT. Putra ketiga dari pendawa lima. Yang lahir dari garba : Raden Ayu Koesmiyatoen dengan RM AMBAR KOESSENSI. Bertepatan pada hari jum`at pahing tanggal 18 november 1938, di Madiun kakek beliau (Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat) adalah bupati Madiun VI dan neneknya (Djuwito) atau (RA Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat), merupakan figur yang di segani pada saat itu.Menurut keterangan dari pihak keluarganya, trah Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesodiningrat selain di kenal sebagai penerus darah biru juga dikenal sebagai bangsawan yang suka bertapa brata satu laku untuk mencari hakikat hidup dengan jalan meninggalkan larangan-larangan Tuhan Yang Maha Esa serta membentengi diri dari pengaruh keduniawian. Bakat alam yang mengalir dalam darah kakeknya ini , di kemudian hari menitis ke dalam jiwa RM IMAM KOESOEPANGAT. Dan mengantarkan menjadi seorang Pendekar yang punya Kharisma dan di segani sampai ia sendiri di juluki. “Pendhita Wesi Kuning”.

Masa Kecil
Masa kecil RM IMAM KOESOEPANGAT di lalui dengan penuh suka dan duka, ia seperti halnya saudara-saudara kandungnya (RM Imam Koesoenarto dan RM Imam Koesenomihardjo, kakak serta RM Imam Koeskartono dan RM Abdullah Koesnowidjodjo, adik) hidup dalam asuhan kedua orang tuanya, menempati tempat tinggal kakeknya di lingkungan kabupaten Madiun . (menurut sumber terate) semasa kecilnya, RM Imam Koesoepangat belum menunjukan kelebihan yang cukup berararti. Di sekolahnya (SD latihan duru satu : sekarang SDN indrakila Madiun) ia bukan tergolong siswa yang paling menonjol, salah satu nilai lebih yang di milikinya barangkali hanya karena keberaniannya.selain ia sendiri sejak kecil sudah di kenal sebagai bocah yang jujur dan suka membela serta suka menolong teman-teman sepermainannya.Ketika berumur 13 tahun, semasa ia haus damba kasih dari ayahanda nasib berbicara lain RM Ambar Koesensi (ayahanda tercinta) di panggil ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, tepatnya pada tanggal 15 maret 1951 , sewaktu ia masih duduk di kelas 5 SDN. RM Imam Koesoepangat kecilpun seperti tercerabut dari dunia kanak-kanaknya, sepeninggal orang yang di cintainya itu sempat menggetarkan jiwanya. Namun kematian tetap kematian tidak seorangpun mampu menolak kehadiranya. Begitu juga yang terjadi pada RM Ambar Koesensie.Hari-hari berikutnya RM Imam Koesoepangat diasuh langsung oleh ibunda RA Koesmiatoen. Di waktu-waktu senggang ibunda sering kali mendongeng tentang pahlawan-pahlawan yang dikenalnya dan tidak lupa memberi petuah hidup. Berawal dari tatakrama pergaulan, tatakrama menembah (bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) sampai merambah pada pengertian budi luhur dan mesubrata.

Masuk Persaudaraan Setia Hati Terate
Benih luhur yang di tanamkan ibundanya itu lambat laun ternyata mampu mengendap dan mengakar di dalam jiwa RM Imam Koesoepangat, ia lebih akrab dengan panggilan “ARIO” perhatiannya terhadap nilai-nilai budi luhur kian mekar bagai bak terate di tengah telaga. Semenjak kecil sudah menyukai laku tirakat, seperti puasa dll sejalan dengan itu sikapnya mulai berubah ia mulai bisa membawa diri menempatkan perasaan serta menyadari keberadaannya. Gambaran seorang Ario kecil, sebagai bocah ingusan, sedikit demi sedikit mulai di tinggalkannya.Rasa keingintahuan terhadap berbagai pengetahuan terutama ilmu kanuragan dan kebatinan yang menjadi idaman semenjak kecil kian hari semakin membakar semangatnya. Melecut jiwanya untuk segera menemukan jawabanya, barang kali terdorong oleh rasa keingintahuanya itulah ketika umurnya bejalan enam belas tahun RM Imam Koeseopangat mulai mewujudkan impianya. Di sela-sela kesibukanya sebagai siswa di SMP 2 Madiun, ia mulai belajar pencak silat di bawah panji-panji Persaudaraan Setia Hati terate. Kebetulan yang melatih saat itu adalah mas IRSAD (murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) selang lima tahun kemudian 1959 setelah tamat dari SMA Nasional Madiun ia berhasil menyelesaikan Pelajaran di Persaudaraan Setia Hati Terate dan berhak menyandang gelar pendekar tingkat satu.

Jumat, 14 Januari 2011

SEJARAH

Berita / Ke - SH - an
FILOSOFI BUNGA “ TERATE “


Terate pertama kali diusulkan oleh Bapak Soeratno Surengpati, beliau adalah salah satu warga SHM yang mempunyai cita –cita sama dengan Ki Hadjar Hardjo Oetomo yakni berjuang untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia. Selain itu beliau juga merupakan seorang tokoh Pergerakan Indonesia Muda. Nama Terate yang diusulkan kepada Ki Hadjar Hardjo Oetomo kemudian diterima dan disetujui oleh beliau.

Nama Terate tersebut sesuai dengan azas dan tujuan Persaudaraan Setia Hati Terate itu sendiri. Sebagaimana menurut Ki Hadjar Hardjo Oetomo Bunga Terate merupakan suatu bunga yang mempunyai gaya atau ke-khas-an tersendiri diantara bunga – bunga yang lain, karena kecantikan, keindahan dan kemolekannya, serta nilai manfaat selain itu Bunga Terate juga mempunyai kharisma tersendiri yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Nama Terate menurut pendapat Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah sudah sangat tepat sekali, mengingat nama tersebut mempunyai makna dan filosofi dan kharisma tersendiri. Sehingga dengan menggunakan Bunga Terate diharapkan nantinya warga PSHT kelak dapat bermanfaat bagi organisasi maupun pada pada masyarakat secara luas.
Terate adalah merupakan salah satu bagian dari cita – cita mulia “ Setia Hati “ , Orang Setia Hati Terate dituntut agar mempunyai pola pikir yang mendasar secara nalar yakni menyatu – padukan antara sifat manusia, perilaku dan alam semesta artinya bahwa manusia itu selamanya tidak akan kekal abadi, baik manusia itu sendiri bertindak dan berperilaku agar dijalani dengan penuh kesadaran dan penuh kehati – hatian, sehingga didalamnya akan tercermin suatu kewibawaan, kearifan, kebijaksanaan, kejujuran, keadilan dan mengayomi terhadap sesamanya tanpa memandang apapun ( suku, agama dan ras )
Nb : Di kutip dari buku
“ Sejarah Singkat dan Perkembangannya PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE “
disusun oleh
P BAMBANG TUNGGUL WULUNG JUDHYASMARA
P NIW. 630100002
PUTRA KANDUNG
P R.M. SOETOMO MANGKOEDJOJO
PEMBIMBING
P
& PEMBINA PADEPOKAN “WESI AJI”
( WEDAR SILAT AMONG JIWO )
PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE SEMARANG

SEJARAH SETIA HATI



SEJARAH SETIA HATI

Sebagai organisasi berdiri pada tanggal 22 Mei 1932 di Semarang Jawa Tengah dengan name “Setia Hati” yang merupakan perwujudan ikrar bersama sejumlah khadang SH dari Semarang, Magelang, Solo, Yogyakarta dan lain-lain. Atas prakarsa saudara tua SH “Munandar Harjowiyoto” dari Ngambe, Ngawi-Jawa Timur. Karena terdiri dari sejumlah kadhang SH, maka disebut dengan nama Setia Hati Organisasi (SHO), yaitu orang-orang SH yang berorganisasi. Hadir pada waktu itu 50 saudara SH dan utusan-utusan, antara lain: Suwignyo, Sukandar, Sumitro, Kasah, Karsiman, Suripno, Sutardi, Hartadi, Sayuti Melok (R. Sudarso Wirokusumo, 1979:Stensilan). Karena Ki Ngabei Surodiwiryo tidak dapat hadir dalam undangan tersebut, maka dipilihlah Munandar Harjowiyoto sebagai ketua Mental Spiritual ke-SH-an, tetapi jalan sejarah menjadi lain, ia terpaksa meninggalkan Semarang (kedudukan Pengurus Besar SHO di tahun 1933) untuk merawat ibunya yang sudah tua dan baru ditinggal wafat suami.

Persaudaraan Setia Hati (SHO) didirikan pada waktu benih kebangsaan (nasionalisme Indonesia) mulai tersebar luas dan diresapi oleh rakyat Indonesia, meskipun tidak disenangi oleh kolonialis Belanda. Kegiatan partai-partai yang mencita-citakan kemerdekaan sangat dibatasi bahkan dilarang. Tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap membahayakan kekuasaan Belanda di Indonesia, banyak yang di tangkap dan dipenjarakan (dibuang) ke Digul, Irian Barat. Akan tetapi, kaum nasionalis Indonesia tetap berjuang dan bergerak terus-menerus dengan berbagai cara, illegal maupun legal untuk mempersiapkan rakat memasuki fase perjuangan kemerdekaan dengan segala konsekwensinya.

Jikalau parta-partai politik yang terang-terangan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dilarang, maka dicarilah bentuk-bentuk organisasi yang lebih lunak yang tidak dilarang oleh pemerintah kolonialis Belanda, yang tetap dapat memelihara dan makin menyalakan api kemerdekaan yang terdapat di hati rakyat, meskipun secara terselubung. SHO merupakan salah satu bentuk organisasi perjuangan tersebut, suatu organisasi olah raga dan persaudaraan yang masih tidak dilarang, dengan mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang tidak berbau politik

Sebenarnya para pendiri SHO waktu itu, dari hati sanubari mereka bergolak cita-cita politik dan menginginkan kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Panca Dharma dan kalimat-kalimat serta rumusan-rumusan yang tercantum dalam Anggaran Dasar SHO dengan rapid an lihai membungkus cita-cita kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, sekaligus merintis character dan nation buildingsecara samara (dimata pemerintah kolonial Belanda), akan tetapi jelas dan tegas dihati kaum nasionalis Indonesia.

Karena perjuangan tidak dapat diketahui atau diramalkan kapan akan selesai, maka dituntut keberanian berkorban, keberanian menderita dan kalau perlu juga keberanian bertempur mati-matian, maka warga SHO digembleng lahir bathinnya dan diperlengkapi dengan senjata pencak SH yang tangguh. Bahwa dalam setiap perjuangan diperlukan persatuan yang kokoh & kuat, maka SHO berusaha untukdapat menjadi wadah dan esuh persaudaraan diantara para anggotanya, sehingga jiwa persatuandan rasa bersaudara terjelma akrab. Kiranya tidak tanpa maksud, jikalai para anggota SHO saling memperlakukan diri mereka sebagai “broeders” dan mungkin juga sebagai “wapen broeders” yang terikan erat oleh sumpah mereka masing-masing pada waktu memasuki Persaudaraan Setia Hati, apabila pihak Belanda dapat mencium maksud dan tujuan organisasi-organisasi perjuangan terselubung, semacam SHO waktu itu, maka pastilah SHO tidak akan panjang umurnya. Oleh karena itu, maka untuk masuk dalam Persaudaraan Setia Hati diperlakukan semacam penyaringan yang ketat melalui sistem kandidat yang berat dan lama, sebelum orang tersebut dapat diterima menjadi saudara. Rasa anti penjajahan walaupun tidak diindoktrinasikan, menjiwai para warga SHO. Perjuangan politik secara gerilya yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda menjadi pengetahuan umum dan disadari akan bahayanya dikalangan SHO, maka kerahasiaan cita-cita SHO yang sebenarnya harus dijaga dengan penuh kewaspadaan dan kesetiaan. Gerak langkah, perilaku dan budi pekerti tiap warga SHO dapat menjadi jaminan bahwa SHO akan berhasil ikut mengantarkan bangsanya memasuki fase perjuangan kemerdekaan yang dicita-citakan oleh patriot Indonesia.

Sementara itu, permintaan untuk dapat diterima menjadi saudara SH diluar Semarang terus bertambah, antara lain di Mataram Yogyakarta. Juni 1936 di Magelang, Jawa Tengah diadakan “Leiders Conferentie” untuk memurnikan kembali jurus-jurus SH yang mengalami penyimpangan dari aslinya. Tahun 1938 atas hasil musyawarah di Semarang, Pengurus Besar SHO dipindahkan ke Yogyakarta dan Alip Purwowarso dipilih sebagai Ketua.

Sesudah bangsa Indonesia benar-benar memasuki fase perjuangan fisik dalam revolusi kemerdekaan, akibat proklamasi 17 Agustus 1945, maka kerahasiaan perjuangan SHO tidak penting lagi. Suatu fase baru dalam taktik perjuangan, merebut dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan, telah pecah menjadi clash bersenjata secara terbuka, para warga SHO menjadilah pejuang-pejuang kemerdekaan, mendharmabhaktikan diri di segala medan perjuangan menurut bakat dan kemampuan masing-masing.

Sesudah rakyat Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang merdeka dan berdaulat, membangun Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, perjuangan nasional menjadi makin berat. Revolusi yang multi-kompleks ternyata meminta banyak pengorbanan. Di bidang diplomasi dan militer masih memerlukan waktu bertahun-tahun. Para warga SHO, seperti para warga Indonesia lainnya yang mencintai kemerdekaan dan yang berjuang untuk kelestarian Negara Republik Indonesia, juga mengalami ujian dan tantangan yang sama, merasakan suka dukanya perjuangan di berbagai bidang. Yang selamat berhasil melihat Republik Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat, yang kemudia diakui oleh seluruh dunia.yang kurang beruntung, gugur dalam membela cita-citanya sebagai pahlawan ataupun pejuang yang tak dikenal namanya, menghias Ibu Pertiwi. Sebagian lagi yang terlibat dalam perjuangan di medan pertempuran menghadapi musuh-musuh, dengan senjata seadanya (tombak, keris, atau bahkan hanya dengan bambu runcing), mengajarkan pencak SH kepada teman-teman seperjuangan yang bukan warga SHO, melanggar sumpah SH-nya demi kepentingan nasional yang dinilai berada diatas segala-galanya (seperti yang diajarkan juga oleh SHO).

Pada tanggal 18 Mei 1948 di Solo, terbentuklah organisasi nasional pencak silat bernama Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), melibatkan saudara-saudara SH sebagai pelopor berdirinya IPSI bersama 15 orang tokoh-tokoh pencak silat yang antara lain dari aliran Minangkabau (Sumatra Barat) diwakili oleh Datuk Ahmad Madjoindo, aliran Sunda (Jawa Barat) diwakili oleh Surya Atmaja dan sisanya saudara-saudara SH antara lain Munandar Hardjowiyoto, Rahmad Suronagoro, R. Mariyun Sudirohadiprojo dan lain-lain serta Mr. Wongsonegoro sebagai Menteri PP dan K (Depdikbud).

Dalam konggres SHO ke-10 di Semarang, tahun 1954, Munandar Harjowiyoto dipilih sebagai Ketua Umum dan oleh konggres ditetapkan sebagai lambing, meskipun pada mulanya menolak, pada akhirnya diterima. Sesudah Munandar Harjowiyoto menjadi Ketua Umum, cara “anname” atau“keceran” diubah, maju selangkah yaitu penjelasan sebelum dikecer boleh dikatakan bersifat umum atau terbuka (sebelumnya hanya didengar oleh calon saudara baru dan saksi) dengan mengundang beberapa tokoh masyarakat dan undangan lainnya. Tanpa orientasi kepada masyarakat luas yang serba majemuk, kiranya tidak akan memperlancar tujuan SHO yang amat luhur dan mulia untuk diketahui bahwa, “ajaran atau falsafah SH bukanlah suatu ajaran ilmu klenik, akan tetapi suatu upaya pendidikan dalam membentuk manusia utuh yang berbudi pekerti luhur”.

Kemudian pada tahun 1972, pada konggres ke-13 di Yogyakarta, menetapkan keputusan dengan kesepakatan bahwa nama SHO berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati. Perubahan nama tersebut merupakan pernyataan Ketua Umum Konggres, Munandar Harjowiyoto yang menyatakan bahwa, “…para khadang Persaudaraan SHO tidak lagi mengenal garis pemisah antara para khadang serumpun SH dan persaudaraan SHO menjadilah SH saja tanpa O (organisasi), kembali ke sumber”. Pertimbangan yang diambil oleh MUBES adalah karena adanya Pengurus Besar, Pengurus Daerah dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, sudah cukup jelas menandakan adanya organisasi. Sekaligus untuk meyakinkan para rumpun SH lainnya, khususnya para khadang SH Winongo, bahwa SHO telah menghapus atau mencabut adanya garis pemisah yang tajam antara SHO dan SH Winongo dan lainnya.

Tanggal 27 Januar 1979, Munandar Harjowiyoto meninggal dunia dan dimakamkan di Ngambe, Ngawi Jawa Timur. Almarhum Munandar Harjowiyoto meninggalkan pesannya yang juga pesan para leluhur bangsa Indonesia, yang telah sering didengar yaitu, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”, ini berarti bahwa seorang khadang SH yang mendapat kepercayaan harus berikhtiar sekuat tenaga agar memberikan contoh yang baik.